Immature people falling in love destroy each
other's freedom, create a bondage, make a prison. Mature persons in love help
each other to be free; they help each other to destroy all sorts of bondages.
And when love flows with freedom there is beauty. When love flows with
dependence there is ugliness
(OSHO)
Kalimat
di atas sengaja di tampilkan untuk menimbulkan kontras dan keterkejutan
terhadap mereka yang selama ini menganggap cinta sebagai benda statik yang akan
terus begitu sepanjang masa, atau sesuatu yang akan di capai ketika menikah.
Pengertian ini telah membawa banyak kekecewaan dalam kehidupan berpasangan
maupun berkeluarga. Salah satu penelitian yang dimuat dalam berita online
memperlihatkan tahun 2010 angka perceraian mencapai rekor tertinggi selama 5
tahun terakhir yakni 285.184 (sumber : Direktur Jenderal Badilag MA, Agung
Wahyu Widiana). Berbagai alasan yang melatar belakangi perceraian, mulai dari
faktor cemburu, masalah ekonomi, ketidak harmonisan hingga masalah politik yang
rupanya kian turut berkontribusi dalam mencerai beraikan perkawinan.
Faktor
tradisi, masalah social - ekonomi, perilaku seksual dan kehamilan yang tidak
dikehendaki, rendahnya pengetahuan tentang reproduksi, rendahnya pendidikan
orang tua serta lemahnya penegakkan hukum menjadi persoalan yang memicu
terjadinya perkawinan usia dini. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang
terjadi ketika mengawali sebuah hubungan ? apakah hubungan yang dilandasi oleh
cinta sudah pasti akan abadi ? Apakah hubungan yang tidak abadi karena tidak
ada cinta ? pertanyaan semacam ini kerap muncul dalam pemikiran maupun
asumsi-asumsi. Marilah kita telaah bersama.
Ada
beberapa jenis cinta di dalam berbagai versi dan definisi para pakarnya yang
dapat di unduh maupun di pelajari lewat berbagai buku. Oleh karenanya, dalam
artikel ini kita tidak akan membahas jenis cinta, maupun manifestasinya,
namun akan membatasi pembahasan pada persoalan problem perkawinan.
It
needs love to make to make two become one
Kalimat di atas bisa benar, tapi bisa pula
keliru jika mengartikannya secara sempit dan dangkal. Sebab, makna cinta tidak
berhenti pada rasa senang terhadap sesuatu, seseorang maupun lawan jenis
(pacar, calon suami atau calon istri). CS. Lewis mengkategorikan perasaan
"senang dan suka" di tingkat terbawah dari derajat intensitas cinta;
rasa senang dan suka ini muncul karena di antara kedua pihak ada kesamaan,
sama-sama senang nonton bioskop, menyukai group musik yang sama, mempunyai
tempat makan favorit yang sama, sedang menyukai kegiatan yang sama, entah itu
demonstrasi atau sama-sama ikut menjadi pendukung sebuah gerakan. Kekuatan dan
durasi perasaan suka ini sangat lemah karena sifatnya yang situasional dan
temporer; dan hubungan yang terbentuk atas dasar perasaan suka ini pun rentan
persoalan karena tidak punya fondasi yang kuat. Sementara, banyak orang yang
mengambil keputusan untuk menikah atas dasar kuantitas kesamaan, karena
rasionalitas kedua pihak terhalang oleh emosi jiwa serta fantasi fairy tale
"happily ever after".
Selama ini banyak orang umumnya menganggap cinta
adalah sebuah produk pabrikan dan bersifat one for all. Ketika diantara
kedua manusia ada cinta, maka semua persoalan selesai atau akan selesai.
Sayangnya banyak pula yang lupa bahwa definisi cinta yang digunakan sebagai
acuan penilaian kualitas dan masa depan hubungan, adalah perasaan "suka
dan senang". Bagi Scott Peck dalam bukunya The Roadless Travelled, cinta
bukanlah perasaan, melainkan tindakan nyata "The will to extend one's
self for the purpose of nurturing one's own or another's spiritual
growth". Motivasi dan tindakan untuk membuat diri sendiri dan orang
lain yang "dicintai" bertumbuh, menjadi pribadi yang punya identitas
sejati, dan menggenapi panggilan hidupnya, itulah yang dinamakan cinta. Dan
karena itulah, cinta tidak mungkin bersifat mengekang, menjajah, menindas,
membatasi, memanipulasi, menghilangkan kemerdekaan apalagi menghilangkan
kemanusiaan orang yang dicintai. "It is about giving the other person
what they need to grow".
Kedewasaan
Pribadi, Kedewasaan Cinta
Dari
definsi cinta Scott Peck terlihat bahwa orang yang bisa mencintai, tentunya
bukan orang yang masih terjebak dalam egosentrisme dan egoisme namun sudah
mampu berkeinginan dan berbuat untuk orang lain. Apabila orang menyatakan
cinta, namun dalam tindakan sehari-hari, banyak menuntut, mengekang, melarang,
memenjarakan kemanusiaan pasangan, maka itu bukanlah cinta, namun conditioning/pengkondisian
agar orang memenuhi kebutuhannya, entah itu kebutuhan fisik (makan, minum,
sexual, dsb) maupun psikologis (ingin di perhatikan, diakui, dikagumi, di puja,
dsb). Di sini lah banyak terjadi kesalahkaprahan, ketika pasangan bersikap nrimo,
diam saja bahkan semakin takut dan taat serta semakin "menderita demi
cinta". Kesalahkaprahan ini membuat banyak penderitaan panjang terutama di
sisi wanita (ada pula pria), tidak hanya menghancurkan perkawinan itu sendiri,
namun menghancurkan pula jiwa-jiwa dan setiap pribadi yang ada di dalamnya,
seperti dirinya sendiri serta anak-anak (bagi yang telah punya anak).
Cinta tidak menjajah.
Oleh
karena cinta bukanlah romantisme perasaan belaka, maka kedewasaan seseorang
akhirnya berperan dalam menentukan seperti apa cinta yang ia berikan kepada
orang lain, baik itu pasangan maupun komunitasnya. Semakin dewasa seseorang,
maka semakin dewasalah cinta-nya; sehingga untuk menghasilkan cinta yang dewasa
dan buah-buah cinta yang mendewasakan diri sendiri dan orang lain, maka
seseorang harus melalui proses pendewasaan. Scott Peck mengatakan dalam The
Roadless Travelled, seseorang menjadi dewasa dan matang, melalui proses yang
bertahap dan semua itu menuntut latihan disiplin diri dalam beberapa elemen,
yakni :
1.
Delaying gratification,
menunda kepuasan sesaat / saat ini demi kebaikan di masa mendatang.
Istilah Indonesia,
sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Secara kongkrit, setiap keputusan
baik itu berpacaran (dengan segala tingkatannya dan tindakannya) dan
berkeluarga, didasarkan pada pertanyaan apakah yang menjadi motivasinya. Apakah
karena ingin segera memuaskan apapun desakan yang ingin di puaskan atau karena
ada alasan rasional lain yang memang baik dan bermanfaat besar bagi kedua belah
pihak (yang menjadi ukuran adalah menumbuhkan dan mendewasakan kedua pihak).
2.
Acceptance of responsibility,
bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan diri sendiri. Apa yang termasuk di
dalamnya adalah menyadari bahwa setiap orang punya andil dalam menciptakan
problem yang sedang dihadapi, sudah dialami atau akan terjadi. Semua berawal
dari pilihan sikap diri. Padahal umumnya, ketika terjadi masalah cenderung
menyalahkan orang lain, persoalan, situasi dan kondisi daripada introspeksi
diri. Konsekuensi logisnya, menganggap diri sebagai korban keadaan yang
tidak berdaya untuk mengambil alih kendali hidup. Amat disayangkan karena
sebagian orang melihat proses ini sebagai suratan takdir dan nasib bahwa ia
terlahir untuk melayani dan menderita demi orang yang dikasihi. Padahal, takdir
cinta tidaklah demikian. Cinta itu membebaskan dan memerdekaan, seperti
ungkapan Oslo,
seorang filsuf kontemporer, di bagian paling atas artikel ini.
Menerima tanggung jawab
di sini mempunyai konsekuensi logis, untuk membuat setiap pribadi berhati-hati,
jangan sampai aplikasi dari memerdekakan diri menciptakan penjajahan bagi
pribadi lainnya. Mengutip Erich Fromm yang mengatakan, no freedom without
responsibility, tidak ada kemerdekaan tanpa tanggung jawab. Jika ingin
berpacaran atau menikah, ingin bercerai atau bahkan ingin bertahan dalam
problema yang ada, maka setiap pemikiran, keputusan dan tindakan harus
dipikirkan sejauh mana kita mampu bertanggung jawab atas implikasinya, baik
bagi diri sendiri, keluarga, orangtua, anak, pasangan, mertua, tempat kerja
kita, dsb.
3.
Dedication to the truth,
selalu mencari dan menemukan kebenaran. Mabuk kepayang maupun kepahitan, bisa
menjadi penghalang kejernihan dalam melihat kenyataan dan kebenaran. Konsep
diri yang negative (menganggap diri tidak baik, buruk rupa, banyak dosa, tidak
berharga, tidak cantik, tidak beruntung, dsb) juga menjadi tembok penghalang
realitas karena kenegatifan itu sudah mewarnai cara pandang kita terhadap
dunia.
Kasus KDRT yang
berkepanjangan membuat pihak korban percaya bahwa dirinya pantas dan layak di
hina dan disia-siakan karena tidak berharga. Oleh sebab itu korban tidak berani
melepaskan diri dari abuser karena tidak yakin ada tempat yang
bisa menerima kehadirannya, atau tidak yakin dirinya kuat hidup
tanpa abuser. Scott Peck mengatakan, jika jiwa manusia ingin
bertumbuh, jauhkan diri dari prejudis, stereotype, prasangka negatif
yang mendistorsi kebenaran. Sikap terbuka, berani menatap kenyataan, bahkan
menerima bahwa ada kebenaran dan fakta lain yang bisa meruntuhkan keteguhan
hati dan keyakinan - mengapa kita takut jika hal itu justru memerdekakan
kita. The truth will set you free.
4.
Balancing & flexible, menjadi
lebih seimbang dan fleksibel. Kedewasaan dan kematangan akan dialami ketika
diri kita maju. Sebaliknya, segala sesuatu yang terlalu rigid, baik dalam soal
berpikir, berkeyakinan maupun berelasi, menghambat kemajuan diri sendiri dan
orang lain serta hubungan itu sendiri. Bayangkan saja hubungan yang penuh
dengan ketakutan, peraturan, larangan, batasan, kecurigaan, pengekangan,
penindasan, tidak akan menumbuhkan sesuatu yang baik; yang muncul adalah hal
negatif, seperti ketakutan, kemarahan, kepahitan, kebosanan, ketidakpuasan,
kesepian dan kekosongan yang melanda jiwa. Tidak akan ada kebahagiaan dalam
relasi yang rigid, namun sama halnya dengan relasi yang tidak berakar
dan berkomitmen, karena keduanya tidak berdasarkan cinta, namun ketakutan.
Kembali pada persoalan cinta yang berakhir duka
nestapa, apalagi tragedi, dapat disimpulkan kondisi itu disebabkan
ketidakmatangan pribadi yang menganggap bahwa memiliki, mengupahi, meladeni, membayari,
menafkahi, adalah cinta dan bukti cinta itu sendiri. Padahal,
silogisme-nya tidak demikian. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ungkapan
cinta dari Ibu Theresa
It is not how much we do,
but how much love we put in the doing.
It is not how much we give,
but how much love we put in the giving
Jadi mari bertanya pada diri sendiri, apakah saya melakukan
ini semua karena cinta? Apakah yang kita lakukan selama ini sudah memerdekakan
& menumbuhkan diri kita dan orang yang kita cintai ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar