Senin, 21 Januari 2013

Salah Kaprah Soal Cinta


Immature people falling in love destroy each other's freedom, create a bondage, make a prison. Mature persons in love help each other to be free; they help each other to destroy all sorts of bondages. And when love flows with freedom there is beauty. When love flows with dependence there is ugliness
(OSHO)

Kalimat di atas sengaja di tampilkan untuk menimbulkan kontras dan keterkejutan terhadap mereka yang selama ini menganggap cinta sebagai benda statik yang akan terus begitu sepanjang masa, atau sesuatu yang akan di capai ketika menikah. Pengertian ini telah membawa banyak kekecewaan dalam kehidupan berpasangan maupun berkeluarga. Salah satu penelitian yang dimuat dalam berita online memperlihatkan tahun 2010 angka perceraian mencapai rekor tertinggi selama 5 tahun terakhir yakni 285.184 (sumber : Direktur Jenderal Badilag MA, Agung Wahyu Widiana). Berbagai alasan yang melatar belakangi perceraian, mulai dari faktor cemburu, masalah ekonomi, ketidak harmonisan hingga masalah politik yang rupanya kian turut berkontribusi dalam mencerai beraikan perkawinan.
Faktor tradisi, masalah social - ekonomi, perilaku seksual dan kehamilan yang tidak dikehendaki, rendahnya pengetahuan tentang reproduksi, rendahnya pendidikan orang tua serta lemahnya penegakkan hukum menjadi persoalan yang memicu terjadinya perkawinan usia dini.  Pertanyaannya, apa sebenarnya yang terjadi ketika mengawali sebuah hubungan ? apakah hubungan yang dilandasi oleh cinta sudah pasti akan abadi ? Apakah hubungan yang tidak abadi karena tidak ada cinta ? pertanyaan semacam ini kerap muncul dalam pemikiran maupun asumsi-asumsi. Marilah kita telaah bersama.
Ada beberapa jenis cinta di dalam berbagai versi dan definisi para pakarnya yang dapat di unduh maupun di pelajari lewat berbagai buku. Oleh karenanya, dalam artikel ini kita tidak akan membahas jenis cinta, maupun manifestasinya,  namun akan membatasi pembahasan pada persoalan problem perkawinan.
It needs love to make to make two become one
Kalimat di atas bisa benar, tapi bisa pula keliru jika mengartikannya secara sempit dan dangkal. Sebab, makna cinta tidak berhenti pada rasa senang terhadap sesuatu, seseorang maupun lawan jenis (pacar, calon suami atau calon istri). CS. Lewis mengkategorikan perasaan "senang dan suka" di tingkat terbawah dari derajat intensitas cinta; rasa senang dan suka ini muncul karena di antara kedua pihak ada kesamaan, sama-sama senang nonton bioskop, menyukai group musik yang sama, mempunyai tempat makan favorit yang sama, sedang menyukai kegiatan yang sama, entah itu demonstrasi atau sama-sama ikut menjadi pendukung sebuah gerakan. Kekuatan dan durasi perasaan suka ini sangat lemah karena sifatnya yang situasional dan temporer; dan hubungan yang terbentuk atas dasar perasaan suka ini pun rentan persoalan karena tidak punya fondasi yang kuat. Sementara, banyak orang yang mengambil keputusan untuk menikah atas dasar kuantitas kesamaan, karena rasionalitas kedua pihak terhalang oleh emosi jiwa serta fantasi fairy tale "happily ever after".
Selama ini banyak orang umumnya menganggap cinta adalah sebuah produk pabrikan dan bersifat one for all. Ketika diantara kedua manusia ada cinta, maka semua persoalan selesai atau akan selesai. Sayangnya banyak pula yang lupa bahwa definisi cinta yang digunakan sebagai acuan penilaian kualitas dan masa depan hubungan, adalah perasaan "suka dan senang". Bagi Scott Peck dalam bukunya The Roadless Travelled, cinta bukanlah perasaan, melainkan tindakan nyata "The will to extend one's self for the purpose of nurturing one's own or another's spiritual growth". Motivasi dan tindakan untuk membuat diri sendiri dan orang lain yang "dicintai" bertumbuh, menjadi pribadi yang punya identitas sejati, dan menggenapi panggilan hidupnya, itulah yang dinamakan cinta. Dan karena itulah, cinta tidak mungkin bersifat mengekang, menjajah, menindas, membatasi, memanipulasi, menghilangkan kemerdekaan apalagi menghilangkan kemanusiaan orang yang dicintai. "It is about giving the other person what they need to grow".

Kedewasaan Pribadi, Kedewasaan Cinta
Dari definsi cinta Scott Peck terlihat bahwa orang yang bisa mencintai, tentunya bukan orang yang masih terjebak dalam egosentrisme dan egoisme namun sudah mampu berkeinginan dan berbuat untuk orang lain. Apabila orang menyatakan cinta, namun dalam tindakan sehari-hari, banyak menuntut, mengekang, melarang, memenjarakan kemanusiaan pasangan, maka itu bukanlah cinta, namun conditioning/pengkondisian agar orang memenuhi kebutuhannya, entah itu kebutuhan fisik (makan, minum, sexual, dsb) maupun psikologis (ingin di perhatikan, diakui, dikagumi, di puja, dsb). Di sini lah banyak terjadi kesalahkaprahan, ketika pasangan bersikap nrimo, diam saja bahkan semakin takut dan taat serta semakin "menderita demi cinta". Kesalahkaprahan ini membuat banyak penderitaan panjang terutama di sisi wanita (ada pula pria), tidak hanya menghancurkan perkawinan itu sendiri, namun menghancurkan pula jiwa-jiwa dan setiap pribadi yang ada di dalamnya, seperti dirinya sendiri serta anak-anak (bagi yang telah punya anak).  Cinta tidak menjajah.
Oleh karena cinta bukanlah romantisme perasaan belaka, maka kedewasaan seseorang akhirnya berperan dalam menentukan seperti apa cinta yang ia berikan kepada orang lain, baik itu pasangan maupun komunitasnya. Semakin dewasa seseorang, maka semakin dewasalah cinta-nya; sehingga untuk menghasilkan cinta yang dewasa dan buah-buah cinta yang mendewasakan diri sendiri dan orang lain, maka seseorang harus melalui proses pendewasaan. Scott Peck mengatakan dalam The Roadless Travelled, seseorang menjadi dewasa dan matang, melalui proses yang bertahap dan semua itu menuntut latihan disiplin diri dalam beberapa elemen, yakni :
1.      Delaying gratification, menunda  kepuasan sesaat / saat ini demi kebaikan di masa mendatang. Istilah Indonesia, sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Secara kongkrit, setiap keputusan baik itu berpacaran (dengan segala tingkatannya dan tindakannya) dan berkeluarga, didasarkan pada pertanyaan apakah yang menjadi motivasinya. Apakah karena ingin segera memuaskan apapun desakan yang ingin di puaskan atau karena ada alasan rasional lain yang memang baik dan bermanfaat besar bagi kedua belah pihak (yang menjadi ukuran adalah menumbuhkan dan mendewasakan kedua pihak).
2.      Acceptance of responsibility, bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan diri sendiri. Apa yang termasuk di dalamnya adalah menyadari bahwa setiap orang punya andil dalam menciptakan problem yang sedang dihadapi, sudah dialami atau akan terjadi. Semua berawal dari pilihan sikap diri. Padahal umumnya, ketika terjadi masalah cenderung menyalahkan orang lain, persoalan, situasi dan kondisi daripada introspeksi diri.  Konsekuensi logisnya, menganggap diri sebagai korban keadaan yang tidak berdaya untuk mengambil alih kendali hidup. Amat disayangkan karena sebagian orang melihat proses ini sebagai suratan takdir dan nasib bahwa ia terlahir untuk melayani dan menderita demi orang yang dikasihi. Padahal, takdir cinta tidaklah demikian. Cinta itu membebaskan dan memerdekaan, seperti ungkapan Oslo, seorang filsuf kontemporer,  di bagian paling atas artikel ini.
Menerima tanggung jawab di sini mempunyai konsekuensi logis, untuk membuat setiap pribadi berhati-hati, jangan sampai aplikasi dari memerdekakan diri menciptakan penjajahan bagi pribadi lainnya. Mengutip Erich Fromm yang mengatakan, no freedom without responsibility, tidak ada kemerdekaan tanpa tanggung jawab. Jika ingin berpacaran atau menikah, ingin bercerai atau bahkan ingin bertahan dalam problema yang ada, maka setiap pemikiran, keputusan dan tindakan harus dipikirkan sejauh mana kita mampu bertanggung jawab atas implikasinya, baik bagi diri sendiri, keluarga, orangtua, anak, pasangan, mertua, tempat kerja kita, dsb.
3.      Dedication to the truth, selalu mencari dan menemukan kebenaran. Mabuk kepayang maupun kepahitan, bisa menjadi penghalang kejernihan dalam melihat kenyataan dan kebenaran. Konsep diri yang negative (menganggap diri tidak baik, buruk rupa, banyak dosa, tidak berharga, tidak cantik, tidak beruntung, dsb) juga menjadi tembok penghalang realitas karena kenegatifan itu sudah mewarnai cara pandang kita terhadap dunia.
Kasus KDRT yang berkepanjangan membuat pihak korban percaya bahwa dirinya pantas dan layak di hina dan disia-siakan karena tidak berharga. Oleh sebab itu korban tidak berani melepaskan diri dari abuser  karena tidak yakin ada tempat yang bisa menerima kehadirannya,  atau tidak yakin dirinya  kuat hidup tanpa abuser.  Scott Peck mengatakan, jika jiwa manusia ingin bertumbuh, jauhkan diri dari prejudis, stereotype, prasangka negatif yang mendistorsi kebenaran. Sikap terbuka, berani menatap kenyataan, bahkan menerima bahwa ada kebenaran dan fakta lain yang bisa meruntuhkan keteguhan hati dan keyakinan  - mengapa kita takut jika hal itu justru memerdekakan kita. The truth will set you free.
4.      Balancing & flexible, menjadi lebih seimbang dan fleksibel. Kedewasaan dan kematangan akan dialami ketika diri kita maju. Sebaliknya, segala sesuatu yang terlalu rigid, baik dalam soal berpikir, berkeyakinan maupun berelasi, menghambat kemajuan diri sendiri dan orang lain serta hubungan itu sendiri. Bayangkan saja hubungan yang penuh dengan ketakutan, peraturan, larangan, batasan, kecurigaan, pengekangan, penindasan, tidak akan menumbuhkan sesuatu yang baik; yang muncul adalah hal negatif, seperti ketakutan, kemarahan, kepahitan, kebosanan, ketidakpuasan, kesepian dan kekosongan yang melanda jiwa. Tidak akan ada kebahagiaan dalam relasi yang rigid, namun sama halnya dengan relasi yang tidak berakar dan berkomitmen, karena keduanya tidak berdasarkan cinta, namun ketakutan.  

Kembali pada persoalan cinta yang berakhir duka nestapa, apalagi tragedi, dapat disimpulkan kondisi itu disebabkan ketidakmatangan pribadi yang menganggap bahwa memiliki, mengupahi, meladeni, membayari, menafkahi, adalah cinta dan bukti cinta itu sendiri.  Padahal, silogisme-nya tidak demikian. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ungkapan cinta dari Ibu Theresa
It is not how much we do,
but how much love we put in the doing.
It is not how much we give,
but how much love we put in the giving
Jadi mari bertanya pada diri sendiri, apakah saya melakukan ini semua karena cinta? Apakah yang kita lakukan selama ini sudah memerdekakan & menumbuhkan diri kita dan orang yang kita cintai ?

Bermain Dengan Anak


Masa anak-anak adalah masa di mana mereka belajar mengenal dunia lewat bermain. Bermain menjadi sarana sekaligus jembatan antara apa yang ada dalam alam fantasi mereka dengan apa yang (bisa) mereka wujudkan. Anak tidak melihat permainan sebagai "bermain" sebagaimana orang tua atau orang dewasa menganggap bermain adalah sesuatu yang tidak riil. Anak-anak yang lebih kecil menganggap bermain adalah sebuah realita seperti halnya orang dewasa bekerja, bersekolah, membereskan rumah, dsb. Bermain adalah dunia dimana mereka berada dan memberi makna terhadap segala sesuatu yang mereka hadapi dalam permainan itu.
Sebenarnya jika diringkas, banyak sekali manfaat bermain bagi anak, selain yang sudah disebutkan di atas. Sebuah studi yang dilakukan dalam kurun waktu bertahun-tahun menemukan anak yang ketika kecil (usia 4 tahun) gemar bermain blocks atau lego, ketika SMA memperlihatkan kemampuan matematika yang lebih tinggi.

Problem Dalam Bermain
Dewasa ini, bermain menjadi kurang bermakna dan kurang manfaatnya, dan bahkan terlalu banyak kerugiannya. Apakah yang salah dengan bermain ini ?
1.      Tidak jelas tujuannya.
Kita sering menjumpai anak-anak yang bermain just for killing time, menghabiskan waktu, entah karena kurang kegiatan atau menunggu orang tua, supir atau jemputan. Masalahnya, permainan favorit untuk killing time adalah game atau sejenisnya yang tersedia di handphone atau smartphone, ipad, dst. Ada yang baik, tapi lebih banyak yang destruktif, seperti game yang berdarah-darah, pukul-pukulan, tembak-tembakan, yang membuat pemainnya puas kalau sudah bisa membunuh sebagai solusi satu-satunya dan mendapat reward yang paling besar.
Dalam Journal of Adolescence 27 (2004) 5-22 memuat hasil penelitian dampak hostile video game terhadap remaja. Sebagai permainan yang "paling digemari" abad ini, game yang hostile ternyata membuat remaja lebih hostile, agresif dan kasar, dalam berargumentasi dengan guru/authority figure dan lebih sering terlibat perkelahian fisik serta membuat prestasi belajar memburuk. Fenomena di Indonesia dewasa ini, anak-anak kecil usia sekolah dasar bahkan TK sudah di expose oleh permainan-permainan hostile lewat game dan TV. Dengan temuan itu, dapat dibayangkan bagaimana jadinya anak-anak masa depan kita.
2.      Tidak sesuai medianya dan kebutuhan anak
Kita lihat banyak beredar game yang tidak peduli kategori usia, yang penting laku keras. Padahal, permainan hostile itu untuk dewasa. Sama halnya dengan tontonan TV, meski pun itu film Popeye atau pun Mr Bean bahkan Tom and Jerry,  Sponge Bob,  Bart Simpson, film-film tersebut banyak  menayangkan plot, alur cerita, atau kejadian yang tidak cocok dikonsumsi anak-anak kecil yang dalam proses pembentukan nilai. Film-film itu sebenarnya miniatur orang dewasa, sehingga alhasil anak-anak benar-benar menjadi miniatur orang dewasa karena meniru tokoh kartun di TV yang dibuat ala pikiran (dan delinquency-nya) orang dewasa.

3.      Tidak ada engagement atau keterlibatan
Kerap terjadi, anak-anak disuruh bermain dan diberi permainan agar tidak mengganggu atau merepotkan orang dewasa/orang tua. Ada orang tua yang enggan bermain dengan anak, karena sibuk, atau tidak nyambung dengan anaknya karena perbedaan dunia yang tak (mau) diselami.
Baby sitter atau mbak, tidak selalu mau dan mampu menyelam ke dalam dunia anak, karena sebagian menganggap tugas utama adalah menjaga dan melayani dalam arti harafiah. Ketika permainan dilakukan tidak dengan hati, maka proses bermain menjadi lebih hambar. Dalam kehambaran itulah, tidak terbangun kepekaan dan empati yang sebenarnya bisa diasah lewat bermain. Alhasil anak mudah bosan dan mudah frustrasi. Sebaliknya, dalam permainan yang engaging, akan ada diskusi dua arah yang membuka kemungkinan solusi. Bermain mobil-mobilan, polisi-polisian, pemadam kebakaran, masak-masakan, semua yang "biasa-biasa" bisa menjadi hidup dan menarik jika pemainnya terlibat secara emosi dan tentunya, fantasi. Tanpa keterlibatan jiwa raga, permainan mahal pun belum tentu mampu menghadirkan makna dan dampak yang dasyat pada anak.
Edward Fisher seorang psikolog menemukan keterkaitan antara bermain dengan perkembangan ketrampilan berbahasa. Ia menemukan bahwa bermain role play, meningkatkan kemampuan kognitif-linguistik dan sosial afektif anak. Itu sebabnya bermain dengan hati menjadi penting untuk menciptakan suasana bermain yang hidup dan menyenangkan.
                                                                                                                           
Kendala Anak Untuk Bermain
Beberapa hal yang sering menjadi kendala anak dalam bermain, adalah kurangnya area bermain seperti tempat lapang dan rerumputan yang kini sangat langka terutama bagi anak-anak perkotaan. Sarana permainan yang bisa dinikmati dan dimanfaatkan publik pun hampir tidak tersedia, kecuali ke arena bermain di mall dan harus membayar. Selain persoalan di atas, ada kendala yang lebih krusial dan substansial karena kendala tersebut ada di hadapan mata dan terjadi hampir setiap hari tanpa disadari oleh para orang tua. Kendala yang bisa diistilahkan sebagai inhibitor, yakni :
1.      Ketakutan orang tua
"Awas jatuh!", "Jangan, pokoknya nggak boleh naik-naik", "awas bisa tergelincir lho". Banyak ungkapan yang disuarakan orang tua ketika sedang bersama anaknya di tempat umum. Sikap orangtua yang overprotective, membuat anak kurang percaya diri dan tergantung. Kecemasan dan ketakutan orang tua terbaca oleh anak sebagai ekspresi ketidakpercayaan mereka terhadap kemampuan anak mengatasi situasi saat itu. Mekanismenya demikian, ketika orangtua tidak percaya pada anak, pada akhirnya anak meragukan dan mempertanyakan kemampuan mereka. Selanjutnya, anak akan membatasi diri sebelum mereka mengeksplorasi kemungkinan dan kesanggupan, before they reach their upper limit. Inilah yang menjadi sumber inferioritas dan rendahnya harga diri.

2.      Nilai
Nilai yang dimiliki dan diyakini orang tua berpengaruh terhadap anak. Sebagai contoh ada seruan "anak  laki tidak boleh masa-masakan, nanti jadi  homo". Sementara konsep homo sendiri jauh dari jangkauan pikiran anak-anak yang masih innocence. "Anak perempuan kok manjat-manjat, ayo turun, kamu bukan anak laki". Sebagian orang tua menganggap mendidik anak harus keras dan anak harus dibatasi sebagaimana tradisi keluarga. Orangtua ini akan menghalangi proses eksplorasi anak terhadap dirinya dan dunia serta masa depannya.

3.      Ego

"Jangan main di pantai, panas, nanti mama jadi hitam" atau "Nonton acara mama saja, lebih seru daripada nonton kartun" atau "Main sama Mbak sana, papa sedang sibuk nih, ini lebih penting soalnya!". Tanpa disadari, kebutuhan dan keinginan orangtua berlomba dengan kebutuhan anak, untuk direalisasikan.  Situasi ini sebenarnya mendudukkan orangtua menjadi kekanak-kanakan dan mendudukkan anak menjadi yang lebih tua karena akhirnya anaklah yang mengalah demi orang tua.

Apa yang akan terjadi ?
Jika dibiarkan, proses learning by doing and experiencing menjadi terhambat karena terkendala berbagai hal. Sementara, ada banyak tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh anak-anak kita dalam rangka pengembangkan berbagai komponen yang sangat krusial bagi proses pertumbuhan, kematangan dan keberhasilan hidup mereka di masa mendatang. Komponen tersebut adalah :
  • Kemampuan survival, yakni kemampuan untuk bertahan dan keluar sebagai pemenang dalam kehidupan, mampu mengendalikan kehidupan dan tidak membiarkan diri menjadi korban keadaan.
  • Kemampuan empati, kemampuan untuk memahami keadaan, perasaan, kesulitan, keterbatasan dan kemanusiaan orang lain, sebagaimana ia memahami dirinya sendiri
  • Kemampuan mengelola emosi, yakni kemampuan mengolah perasaan, hingga mempunyai kepekaan rasa dan ketajaman intuisi
  • Kemampuan beradaptasi, kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar maupun hal-hal baru
  • Kemampuan bertumbuh, kemampuan untuk terus mencari dan melakukan pertumbuhan, untuk keluar dari rasa nyaman (comfort) untuk menemukan sesuatu yang lebih baik.
  • Kemampuan recovery dan rekonstruksi, kemampuan bangkit dari kegagalan, belajar dari kegagalan maupun memperbaiki kesalahan
  • Kemampuan mencari yang hakiki, mencari keutamaan sejati, kemampuan untuk membedakan, apa yang terutama dan utama dalam hidup ini, apa yang menjadi impian dan panggilan hidupnya kelak.
  • Kemampuan membangun nilai infrastruktur, kemampuan untuk mengadopsi dan menginternalisasi nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi dalam bersikap dan bertindak.
Solusi Bermain Dengan Asik
Sampai kapanpun, anak akan membutuhkan bermain, oleh karenanya, tantangan untuk menghadirkan permainan dan waktu bermain yang berkualitas adalah tantangan bagi orangtua modern. Solusi untuk bermain di jaman modern ini tidaklah terlalu sulit untuk dijalankan meskipun terkendala arena maupun sarana. Semua itu adalah nomor 2, yang terpenting adalah keterlibatan orangtua (dan pengasuh), hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anak serta kreativitas orangtua atau pengasuhnya dengan anak yang diajak bermain. Pada dasarnya semua anak kreatif, namun orang dewasa kerap kehilangan kreativitas dan kehilangan minat serta daya fantasi untuk bermain mengikuti irama anak. Ada beberapa prasyarat untuk mengupayakan terjadinya permainan yang seru dan berkualitas :
  • Lepaskan keinginan "Jaga Image". Jaga image memperbesar jarak dengan anak sehingga tidak terjadi chemistry yang membuat suasana bermain menjadi hidup.
  • Lepaskan idealism dan judgment. Idealisme dan judgment membuat kita cenderung menilai segala sesuatu dan akhirnya kehilangan minat untuk bermain karena segala sesuatu diukur pakai kaca mata penilaian dan "apa kata orang lain"
  • Berusahalah.  Banyak permainan murah dan asik bisa dilakukan jika kita sebagai orang dewasa mau mengupayakannya terlebih dahulu. Misalnya, ingin bermain sambil melakukan percobaan sederhana di rumah, maka orangtua atau pendamping perlu menyiapkan bahan-bahannya, dengan dibantu oleh anak agar keterlibatan itu terbangun sejak awal. Tanpa usaha, maka permainan yang murah dan mendidik tidak akan terwujud.
  • Bergeraklah. Banyak permainan sederhana yang bisa terwujud jika kita mau bergerak. Persoalannya dewasa ini orang dewasa cenderung malas bergerak, namun lebih banyak menghabiskan waktu pada komputer, handphone maupun televisi atau smartphone lainnya.
  • Biasakanlah. Buatlah agar bermain dengan anak menjadi sebuah kebiasaan dan kebutuhan kedua belah pihak. Ikatan emosional akan terjalin dengan sendirinya ketika kita memberikan diri kita sepenuhnya sebagaimana anak-anak memberikan diri mereka sepenuhnya pada "that very moment". Ikatan itu lah yang akan membuat hubungan orang tua-anak menjadi hubungan yang terbuka dan saling menghargai, saling mengerti dan mendukung; orang tua dan anak adalah satu team. 
Beberapa  jenis permainan yang solutif
  • Membuat percobaan ilmiah yang sederhana, dengan bahan-bahan yang tersedia di rumah. Permainan percobaan ini tidak hanya menyenangkan tapi juga mendidik.
  • Bermain  instrument musik dengan perlengkapan dapur atau benda-benda yang aman lainnya. Membuat sendiri alat music juga menyenangkan dan bisa digunakan terus menerus.
  • Bermain bowling dengan botol bekas dan bola
  • Bermain basket dengan ember digantung dan bola yang ringan
  • Bermain bulu tangkis
  • Tebak kata maupun teka-teki
  • Bermain peran seperti pemadam kebakaran, piknik ke kebun binatang, polisi penjaga pantai, polisi lalu lintas, little chef, dsb
  • Bermain lego, catur, ular tangga dan monopoli serta permainan sejenis lainnya. Kita bisa membuat sendiri ular tangga atau monopoli  dengan tantangan yang lebih menarik.
  • Treasure hunting, dengan menggambar peta sendiri dan menyembunyikan beberapa harta karun di sudut-sudut rumah.. Permainan ini bisa dimainkan secara kelompok, cocok untuk liburan atau pesta.
  • Membuat kue, yang tidak membutuhkan api dan kompor, atau dibantu orang dewasa pada saat memanggangnya
  • Art and craft dengan bahan bekas, misal kotak tissue yang tak terpakai, daun kering, dsb
  • Bercocok tanam di polybag dan memelihara tanaman maupun binatang peliharaan
  • Bermain dengan kaca pembesar untuk melihat benda-benda lebih dekat
  • Bermain lompat tali atau permainan tradisional seperti congklak, bola bekel, dsb
  • Bermain outdoor seperti berenang, sepeda, sepatu roda, skate board, hingga latihan memanjat pohon (jika masih ada pohon yang bisa dipanjat).
Banyak permainan yang bisa dilakukan, namun semua membutuhkan usaha dan kemauan terutama dari pihak orang tua atau pengasuh. satu hal yang perlu diketahui pula, bahwa pada dasarnya jika orangtua ikut berpartisipasi dalam permainan anak-anak mereka, orangtua juga akan merasakan manfaat yang besar bagi tubuh dan jiwa mereka. Bermain bagi orang dewasa juga bermanfaat untuk merevitalisasi kembali energi, mengobati stress, menumbuhkan kreativitas, harapan dan impian, mengatasi rasa kesepian dan kesedihan, serta meningkatkan daya tahan menghadapi tekanan dan kehidupan. Masih banyak manfaat bermain lainnya bagi orang dewasa. Oleh karenanya, bagi siapapun yang masih mempunyai anak kecil di rumah, bermainlah bersama agar chemistry yang terjalin membangun energy positif bagi kedua pihak dan membangun karakter anak yang lebih percaya diri dan positif.
Semoga Bermanfaat